Ukhuwah
atau persaudaraan dalam Islam bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang
terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu
kekuatan perekat sosial untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini
dalam banyak hal dapat memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi
jurang yang dapat memisahkan silaturahmi di antara umat manusia sebagai mahluk
sosial yang dianugrahi kesempurnaan. Meskipun demikian, dalam perjalanan
sejarahnya, bangunan kebersamaan ini seringkali terganggu oleh godaan-godaan
kepentingan yang dapat merusak keutuhan komunikasi dan bahkan mengundang sikap
dan prilaku yang saling berseberangan. Karena itu, semangat ukhuwah ini secara
sederhana dapat terlihat dari ada atau tidak adanya sikap saling memahami untuk
menumbuhkan interaksi dan komunikasi.
Ukhuwah Islamiyah sendiri menunjukkan jalan yang dapat
ditempuh untuk membangun komunikasi di satu sisi, dan di sisi lain, ia juga memberikan
semangat baru untuk sekaligus melaksanakan ajaran sesuai dengan petunjuk
al-Qur'an serta teladan dari para Nabi dan Rasul-Nya. Sekurang-sekurangnya ada dua pernyataan Nabi
SAW, yang menggambarkan persaudaraan yang Islami. Pertama, persaudaraan Islam
itu mengisyaratkan wujud tertentu yang dipersonifikasikan ke dalam sosok jasad
yang utuh, yang apabila salah satu dari anggota badan itu sakit, maka anggota
lainnya pun turut merasakan sakit. Kedua, persaudaraan Islam itu juga
mengilustrasikan wujud bangunan yang kuat, yang antara masing-masing unsur
dalam bangunan tersebut saling memberikan fungsi untuk memperkuat dan
memperkokoh.
Ilustrasi pertama menunjukkan pentingnya unsur
solidaritas dan kepedulian dalam upaya merakit bangunan ukhuwah menurut pandangan
Islam. Sebab Islam menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama.
Masing-masing memiliki kelebihan, lengkap dengan segala kekurangannya. Sehingga
untuk menciptakan wujud yang utuh, diperlukan kebersamaan untuk dapat saling
melengkapi. Sedangkan ilustrasi berikutnya menunjukkan adanya faktor usaha
saling tolong menolong, saling menjaga, saling membela dan saling melindungi.
Pernyataan al-Qur'an: Innama al-mu'minuuna ikhwatun (sesungguhnya orang-orang
mu'min itu bersaudara) memberikan kesan bahwa orang mu'min itu memang mestinya
bersaudara. Sehingga jika sewaktu-waktu ditemukan kenyataan yang tidak
bersaudara, atau adanya usaha-usaha untuk merusak persaudaraan, atau bahkan
mungkin adanya suasana yang membuat orang enggan bersaudara, maka ia berarti bukan
lagi seorang mu'min. sebab penggunaan kata "innama" dalam bahasa Arab
menunjukkan pada pengertian "hanya saja”. Tuntutan normatif seperti
tertuang dalam al-Qur'an di atas memang seringkali tidak menunjukkan kenyataan
yang diinginkan. Kesenjangan ini terjadi, antara lain, sebagai akibat dari
semakin memudarnya penghayatan terhadap pesan-pesan Tuhan khususnya berkaitan
dengan tuntutan membina persaudaraan. Bahkan, lebih celaka lagi apabila umat
mulai berani memelihara penyakit ambivalensi sikap: antara pengetahuan yang
memadai tentang al-Qur'an di satu sisi, dengan kecenderungan menolak
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya di sisi lain, hanya karena terdesak
tuntutan pragmatis, khususnya menyangkut kepentingan sosial, politik ataupun
ekonomi. Karena itu, bukan hal yang mustahil, jika seorang pemuka agama
sekalipun, rela meruntuhkan tatanan ukhuwah hanya karena pertimbangan kepentingan-kepentingan
primordial.
Karena
tarik menarik antara berbagai kepentingan itulah, sejarah umat Islam selain
diwarnai sejumlah prestasi yang cukup membanggakan, juga diwarnai oleh sejumlah
konflik yang tidak kurang memprihatinkan. Nilai-nilai ukhuwah tidak lagi
menjadi dasar dalam melakukan interaksi sosial dalam bangunan masyarakat tempat
hidupnya sehari-hari. Konflik yang bersumber pada masalah-masalah yang tidak
prinsip menurut ajaran, dapat membongkar bangunan kebersamaan dalam seluruh
tatanan kehidupannya. Perbedaan interprestasi tentang imamah pada akhir periode
kepemimpinan shahabat, misalnya, telah berakibat pada runtuhnya kebesaran
peradaban Islam yang telah lama dirintis bersama. Lalu sejarah itu pun
berlanjut, seolah ada keharusan suatu generasi untuk mewarisi tradisi konflik
yang mewarnai generasi sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar